Kamis, 19 Mei 2011

Hutan Produksi Dicadangkan untuk Kepentingan Ekonomi

Ilustrasi

Harian Ekonomi Neraca
Jakarta – Sekitar 35,4 juta hektar (ha) kawasan hutan produksi dicadangkan untuk kegiatan usaha pemanfatan hasil hutan. Saat ini, pemerintah menyiapkan data mengenai kawasan hutan yang terdegradasi (degraded forest) untuk kegiatan pengembangan ekonomi.
"Ini bersamaan dengan pelaksanaan moratorium atau jeda tebang. Tapi ini tidak masuk dalam moratorium," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan (Kemenhut) Hadi Daryanto, di Jakarta, Senin.
Menurut Dia, sejak Januari lalu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sudah menetapkan 35,4 juta ha kawasan hutan yang akan digunakan untuk kegiatan ekonomi.
Dari jumlah itu, sambung Hadi, sebesar 13,2 juta ha di antaranya untuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan untuk lUPHHK-Restorasi Ekosistem sebanyak 7,4 juta ha. Sedangkan untuk IUPHHK-Hutan Tanaman Industri, kata Hadi, pemerintah sudah mencadangkan sebanyak 9,1 juta hektar. "Khusus HTI kita hanya berikan izin maksimum 500 ribu hektar tiap tahun," terang Hadi.
Dia mengungkap, jumlah 9,1 juta ha tersebut merupakan pencadangan untuk 2010-2030. Untuk IUPHHK-Hutan Tanaman Rakyat (HTR) pemerintah mencadangkan 5,5 juta ha. "Areal ini tersebar di 26 provinsi di seluruh Indonesia," tutur Dia.
Hadi menyebut, Kemenhut khawatir kalau tidak ada pencadangan untuk kegiatan ekonomi, maka bisa memicu terjadinya illegal logging. Pasalnya, pengalaman serupa sudah pernah terjadi di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
"Di NAD sudah dilakukan moratorium, tapi faktanya masih ada banjir akibat illegal logging," tandas Hadi.
Dia menambahkan, selain sudah melakukan pencadangan kawasan hutan untuk kegiatan ekonomi, pemerintah juga giat melakukan pemberantasan illegal logging untuk mensukseskan moratorium ini.
Menurutnya, upaya tersebut antara lain dilakukan melalui kerja sama perdagangan dengan Uni Eropa yang tidak mewajibkan hasil produk kayu asal Indonesia bersertifikat bebas illegal logging.
Sedangkan upaya lainnya adalah menyelesaikan konflik tenurial atau konflik lahan antara penduduk lokal dengan perusahaan atau pemerintah. "Empat kegiatan itu harus dilakukan, kalau cuma moratorium bisa gagal," jelas Hadi.

Evaluasi LoI RI-Norwegia
Sementara itu, dalam siaran pers yang diterima NERACA, Selasa, Greenomics Indonesia mengungkap, berdasarkan laporan evaluasi pertama tahunan terhadap LoI Indonesia-Norwegia tertanggal 3 Mei 2011, disebutkan bahwa pesan-pesan penting dari LoI tidak tersampaikan secara jelas ke publik.
"Penguluran waktu penandatanganan Inpres moratorium hutan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentu menjadi wajar, mengingat pihak-pihak yang terkait dengan sosialisasi LoI ternyata masih belum mampu menyampaikan pesan-pesan penting LoI kepada publik secara jelas," jelas Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi, menanggapi terbitnya laporan evaluasi pertama tahunan terhadap Lol Indonesia-Norwegia yang disusun oleh Gaia Consulting Ltd dan Creature Ltd, konsultan laporan evaluasi LoI.
Atas dasar itu, sambung Elfian, Greenomics berpendapat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak bisa dipersalahkan atau dinilai ragu-ragu atas molornya waktu penandatanganan Inpres moratorium hutan. Yang patut dipertanyakan adalah kegagalan pihak-pihak terkait yang diberi tugas untuk menyampaikan pesan-pesan penting LoI tersebut kepada publik.
"Tentu Presiden tidak mau gegabah menandatangani Inpres moratorium jika pesan-pesan penting LoI tidak tersampaikan dengan baik di publik," jelas Elfian.
Elfian menyebutkan, di antara pesan-pesan penting yang dinilai gagal disampaikan secara jelas oleh pihak-pihak yang bekerja untuk sosialisasi LoI ke publik tersebut adalah tentang manfaat-manfaat penting untuk Indonesia dengan adanya LoI tersebut, termasuk ketidakjelasan posisi Norwegia dalam LoI tersebut
"Tentu saja Presiden memantau perkembangan opini di publik serta mendapatkan masukan-masukan penting pasca penandatanganan LoI. Indonesia-Norwegia itu. Kalau pesan-pesan penting dari Lol tersebut tak tersampaikan secara jelas ke publik dan terus terjadi simpang-siur opini yang tak jelas, ya wajar saja Presiden mengulur waktu untuk menandatangani Inpres moratorium," ujar Elfian.
Satu pesan penting lagi yang tidak tersampaikan secara jelas ke publik berdasarkan laporan evaluasi tersebut, lanjut Elfian, adalah pemahaman publik atas pekerjaan yang dilakukan oleh Satuan Tugas REDD+.
"Bagaimana mungkin Satgas REDD+ dapat menyampaikan pesan-pesan penting Lol ke publik, jika pekerjaan Satgas tersebut temyata tidak jelas tersampaikan ke publik?" tanya Elfian.
Laporan evaluasi tersebut, jelas Elfian, juga menyoroti bahwa pesan-pesan penting dari LoI tak tersampaikan secara jelas kepada DPR RI.
"Ini menjadi catatan penting mengapa Inpres moratorium hutan tertunda demikian lama. DPR adalah mitra kerja pemerintah, jika pesan-pesan penting Lol tak tersampaikan secara jelas ke DPR, wajar saja jika Presiden melihat faktor tersebut sebagai faktor penting," kata Elfian.
"Tak heran, jika laporan evaluasi pertama tahunan terhadap Lol tersebut merekomendasikan untuk lebih bekerjasama dengan DPR untuk membangun dukungan melalui pemahaman di antara anggota DPR soal manfaat-manfaat strategis dari LoI," ujar Elfian. ·kam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar