Senin, 30 Mei 2011

AHTRMI Gagas Pertumbuhan Ekonomi Hijau, Berbasis Ramah Lingkungan


Dalam rangka percepatan pembangunan perdesaan melalui Revitalisasi Pembangunan Pertanian dan Kehutanan, Asosiasi Hutan Tanaman Rakyat Mandiri Indonesia (AHTRMI) selaku Lembaga Profesional sangat peduli dan bertekad untuk senantiasa mendampingi para Pelaku Usaha (Stakeholders) menuju tercapainya cita-cita bersama terciptanya pertumbuhan ekonomi lokal yang lestari dan berkelanjutan  yang dapat dirasakan oleh semua pelaku usaha Agro-Forestry melalui Tata-Kelola  dengan sistem Corporate (Kelompok Usaha Bersama) yang akan dilaksanakan oleh  jutaan petani di seluruh nusantara.,
Menurut Dr. Ir. Elan Masbulan, MS Ketua Umum Asosiasi Hutan Tanaman Rakyat Mandiri Indonesia (AHTRMI)  bahwa itulah cita-cita kita bersama menciptakan pertumbuhan ekonomi hijau  yang dapat dirasakan bukan hanya oleh semua pelaku usaha Agro-Forestry melalui Tata-Kelola  dengan sistem Corporate yang akan dilaksanakan oleh  jutaan petani di seluruh nusantara, melainkan akan dirasakan oleh seluruh umat di dunia.  Untuk mewujudkannya bukanlah hal yang mudah, melainkan harus mempunyai Konsep, Platform, dan Grand Disain yang pelaksanaannya harus dibuat Standar Operasional Prosedur (SOP),” ungkapnya.
Elan juga mengatakan hutan merupakan Inti  Lingkungan Hidup yang di dalamnya terkandung berbagai manfaat untuk menjamin berkelangsungan seluruh makhluk di bumi ini, terutama hutan merupakan media utama Sumber Pangan/ Pertanian. Bentuk-bentuk pemanfaatan hutan secara ganda yang komplementer menjadi syarat keharusan (necessary condition) dalam pembangunan ekonomi lokal dan perdesaan. Oleh karena itu pengembangannya tidak bisa hanya oleh satu sektor, melainkan harus oleh lintas sektor. 
“Karena bagi sektor pertanian HTR merupakan program perluasan areal produksi melalui sistem usahatani konservasi atau mix cropping SEHINGGA diharapkan meningkatkan produksi pangan nasional, bagi aspek ekologi atau lingkungan hidup, HTR merupakan sumber oksigen atau menangkap karbon sekaligus sebagai konservasi tanah dan air (tata-kelola DAS dan pencegah erosi dan longsor), bagi sektor Pariwisata HTR bisa menjadi Eco-Turism atau Hutan Perkotaan, bagi sektor Koperasi dan UKM, HTR dapat menjadi pengembangan kredit permodalan yang dapat memfasilitasi usaha mikro, kecil, dan menengah berkembang menjadi usaha mandiri, bagi Kementerian BUMN, HTR dapat menjadi media CSR sebagai rasa tanggungjawab sosial BUMN terhadap masyaraka,”ujarnya.
Lanjut Elan, dalam pelaksanaannya sesuai prosedur, ternyata sebagian besar petani, kelompok tani hutan, maupun koperasi merasa mendapat kesulitan birokrasi dan prosedur yang dirasa cukup rumit.  Hal ini terbukti dari kenyataan di lapangan, dari pencadangan areal HTR sebanyak 102 Kabupaten/Kota (26_Provinsi) seluas ± 662.810 hektar, baru diterbitkan IUPHHK-HTR pada 24_Kabupaten/Kota (15 Provinsi) sebanyak 68 Unit dengan luas seluruhnya ±_103.156 hektar, dan dari pemegang IUP-HHK HTR baru dilakukan permohonan pinjaman sebanyak  Jumlah Pemohon 96 unit (92 pemohon November 2010-Maret 2011) à 6 Koperasi dan 90 KTH.
Senada dengan kenyataan kondisi existing dan permasalahan di lapangan sekitar pelaksanaan HTR, ternyata permasalahan yang selalu dikeluhkan adalah masalah pengurusan IUPHHK-HTR dan informasi pencanangan areal HTR dan Peta Arahan Indikatif tidak terbuka.  Untuk itu aksesibilitas terhadap HTR nampaknya mengalami hambatan yang besar bagi kelangsungan pelaksanaan Program HTR.
Untuk itu berorientasi kepada semua permasalahan pelaksanaan HTR serta mengkaji besarnya target HTR sebesar 5,5 juta hektar dan semakin banyaknya lahan kritis yang harus dilaksanakan dan diberdayakan serta prospek dan peluang usaha terkait dengan Revitalisasi Pertanian  dan Kehutanan berbasis Ramah Lingkungan di masing-masing daerah, maka sangat diperlukan suatu lembaga profesional untuk mendampingi masyarakat tani dalam bentuk fasilitasi dan kemitraan (patnership) dengan pemerintah (pusat dan daerah), perbankan, dunia usaha, dan Lembaga Masyarakat Madani.  (DPP.Infokom)

Jumat, 27 Mei 2011

Presiden SBY Telah Menetapkan Inpres Moratorium


Presiden SBY beberapa waktu lalu telah menetapkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Penundaan izin baru ini akan berlaku selama 2 tahun.
Inpres Moratorium tersebut dimaksudkan untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan, serta upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang dilakukan melalui program penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD).
Sekretaris Kabinet Dipo Alam berharap agar dalam masa jeda penundaan pemberian izin selama 2 tahun tersebut, penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut dapat dilakukan guna mendukung suksesnya penurunan emisi dari deforestasi.
Inpres Moratorium tersebut dimaksudkan untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan, serta upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang dilakukan melalui program penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD).
Sekretaris Kabinet Dipo Alam berharap agar dalam masa jeda penundaan pemberian izin selama 2 tahun tersebut, penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut dapat dilakukan guna mendukung suksesnya penurunan emisi dari deforestasi.
“Upaya terkait akan pengunaan lahan yang telah terdegradasi agar dapat dipercepat, sehingga pengusaha dapat memperoleh kepastian lahan untuk mengembangkan bisnisnya. Hal ini sesuai dengan yang telah dikemukakan oleh Presiden SBY, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 7% sembari mengurangi emisi 26%," kata Dipo.
Penundaan pemberian izin baru ini diberlakukan terhadap Hutan Primer dan Lahan gambut yang berada di Hutan Konservasi, Hutan Lindung, Hutan Produksi dan Area Penggunaan Lain.
Sedangkan Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, Agus Purnomo menyatakan bahwa beberapa tujuan pembangunan yang harus diselaraskan pemerintah termasuk konservasi lingkungan, pertumbuhan ekonomi, penurunan emisi, tata kelola pemerintahan yang baik dan peningkatan keterlibatan masyarakat setempat.
"Indonesia telah berada di jalur yang tepat, menuju ke masa depan yang sejahtera dan lestari, dan tidak kembali ke praktek pembangunan masa lalu yang merusak lingkungan dan mengorbankan generasi yang akan datang," tegas Agus.
Meski pemberian izin ditunda, terdapat pengecualian yang diberlakukan kepada: a) Permohonan yang telah mendapatkan persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan; b) Pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu: geothermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu; c) Perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku dan d) Restorasi Ekosistem.
Kepala Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal) akan melakukan perbaharuan peta tutupan hutan dan lahan gambut sesuai Peta Indikatif Penundaan Ijin Baru (PIPIB) pada kawasan hutan dan areal penggunaan lain setiap enam bulan sekali, bekerjasama dengan Menhut, BPN dan Satgas REDD+.
Sementara Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional akan mempercepat konsolidasi peta ke dalam revisi peta tata ruang wilayah, sebagai bagian dari upaya pembenahan tata kelola penggunaan lahan.
Pelaporan dan pemantauan pelaksanaan INPRES ini akan dilaporkan hasilnya kepada Presiden oleh ketua UKP4 atau ketua Lembaga Satgas REDD+ yang akan terbentuk. (YS)

Jerman bantu Program Forest and Climate Change


Pemerintah Republik Federal Jerman berkomitmen membantu pemerintah Republik Indonesia dalam program Forest and Climate Change (ForClime) melalui dua modul kerjasama yaitu Technical Cooperation (TC) melalui GIZ dengan nilai sebesar 6,75 juta Euro dan Financial Cooperation (FC) melalui KfW senilai 20 juta Euro, dengan target menurunkan rata-rata agreget emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi hutan sebesar 300 s/d 400 ribu ton CO2 selama durasi 7 tahun. Bantuan ini diberikan sebagai tindak lanjut dari negosiasi bilateral yang dilaksanakan pada tanggal 1-2 Oktober 2007.

Terselenggaranya “ForClime FC-Module National Kick-off Workshop” menandai bahwa program Kehutanan ForClime FC-Module , telah memulai kegiatannya untuk melakukan implementasi kegitana percontohan (demonstration activity) tentang REDD+ di tiga Kabupaten di Kalimantan (Kapuas Hulu, Malinau dan Berau).
Tujuan dari program ini berkepentingan dengan upaya pengurangan emisi Gas Runah Kaca (GRK) dari sektor Kehutanan dan memperbaiki kondisi kehidupan penduduk pedesaan. Upaya pengurangan emisi di tiga Kabupaten tersebut dapat dicapai khususnya dengan menangani penyebab/pendorong (drivers) utama deforestasi dan degradasi hutan yang berlangsung di kawasan hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.

Berdasarkan hasil Studi Kelayakan Rancangan Program ForClime FC-Module, berbagai pendekatan akan dipakai untuk menghindari atau mencegah deforestasi dan degradasi hutan dan diuji di dalam demonstration Activity (DA) sesuai dengan pengelolaan hutannya, seperti Hutan Konservasi, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan.

Menurut aspek pengelolaan maka kegiatan DA, terdiri dari Pengelolaan dan konservasi hutan rawa gambut sekunder; Pengelolaan kolaboratif hutan alam di kawasan penyangga taman nasional; Pengelolaan areal konservasi masyarakat di daerah penyangga taman nasional; Pengelolaan hutan lestari pada areal konsesi IUPHHK yang telah disertifikasi; Pengelolaan hutan mangrove.

Demonstration Activity (DA) yang akan dibangun diharapkan mampu memberikan peluang pendapatan alternatif yang berasal dari upaya pemanfaatan lahan peka-karbon secara intensif, pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan dan konservasi biodiversitas. (
Kepala Pusat Informasi Kemenhut . Masyhud)

Kamis, 19 Mei 2011

Penggundulan hutan, Uni Eropa tekan Indonesia tandatangani perjanjian

primaironline.com Jakarta - Indonesia dan Uni Eropa (UE) tandatangani perjanjian kerja sama memerangi perdagangan kayu ilegal, sebagai penyebab penggundulan hutan (deforestasi) dan penyebab efek gas rumah kaca. UE menekankan pada 2013 semua produk kayu yang diekspor Indonesia ke Eropa telah disertifikasi.

Hingga 2010, total ekspor produk kayu dan kertas Indonesia ke Uni Eropa mencapai US$1,2 miliar atau sekitar 15% dari total ekspor Indonesia.

Perjanjian kerja sama ditandatangani Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan Komisaris Perdagangan UE , Karel de Gucht di Jakarta, Rabu (4/5) seperti dikutip Yahoo.com.

"Tidak hanya Indonesia negara Asia pertama yang sepakat dengan Uni Eropa terhadap isu tersebut, juga hasil olahan kayu untuk ekspor masuk dalam kesepakatan tersebut," kata de Gucht.

"Penebangan liar dirangsang oleh permintaan yang tinggi untuk produk kayu ilegal dan kayu. Oleh karena itu, upaya untuk memerangi penebangan liar tidak akan efektif jika kita hanya ditujukan pada sisi penawaran, mengabaikan sisi permintaan," kata Zulkifli Hasan.

Kayu yang ditebang secara ilegal sampai saat ini mewakili sekitar 50% kayu yang diekspor dari Indonesia dan 20% produk kayu yang diimpor ke Uni Eropa, menurut pernyataan resmi UE.

Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono telah berjanji untuk bersikap keras dengan "mafia hutan" termasuk pejabat kehutanan yang korup dan perwira militer, tetapi Greenpeace menyangsikan komitmen pemerintah tersebut.

"Dalam waktu kurang dari 50 tahun, luas hutan Indonesia terus berkurang dari 82% total daratan menjadi hanya 49% saat inii, sebuah tren yang telah menyebabkan masalah sosial, degradasi lingkungan dan hilangnya peluang ekonomi dalam skala besar," kata de Gucht.

"Antara tahun 1990 dan 2005, Indonesia kehilangan 28 juta hektar (69 juta hektar) hutan, hampir cukup untuk menutupi daratan dari Filipina," katanya.

Indonesia sering disebut sebagai emitor terbesar ketiga gas rumah kaca, terutama akibat deforestasi. (Mac)

Hutan Produksi Dicadangkan untuk Kepentingan Ekonomi

Ilustrasi

Harian Ekonomi Neraca
Jakarta – Sekitar 35,4 juta hektar (ha) kawasan hutan produksi dicadangkan untuk kegiatan usaha pemanfatan hasil hutan. Saat ini, pemerintah menyiapkan data mengenai kawasan hutan yang terdegradasi (degraded forest) untuk kegiatan pengembangan ekonomi.
"Ini bersamaan dengan pelaksanaan moratorium atau jeda tebang. Tapi ini tidak masuk dalam moratorium," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan (Kemenhut) Hadi Daryanto, di Jakarta, Senin.
Menurut Dia, sejak Januari lalu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sudah menetapkan 35,4 juta ha kawasan hutan yang akan digunakan untuk kegiatan ekonomi.
Dari jumlah itu, sambung Hadi, sebesar 13,2 juta ha di antaranya untuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan untuk lUPHHK-Restorasi Ekosistem sebanyak 7,4 juta ha. Sedangkan untuk IUPHHK-Hutan Tanaman Industri, kata Hadi, pemerintah sudah mencadangkan sebanyak 9,1 juta hektar. "Khusus HTI kita hanya berikan izin maksimum 500 ribu hektar tiap tahun," terang Hadi.
Dia mengungkap, jumlah 9,1 juta ha tersebut merupakan pencadangan untuk 2010-2030. Untuk IUPHHK-Hutan Tanaman Rakyat (HTR) pemerintah mencadangkan 5,5 juta ha. "Areal ini tersebar di 26 provinsi di seluruh Indonesia," tutur Dia.
Hadi menyebut, Kemenhut khawatir kalau tidak ada pencadangan untuk kegiatan ekonomi, maka bisa memicu terjadinya illegal logging. Pasalnya, pengalaman serupa sudah pernah terjadi di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
"Di NAD sudah dilakukan moratorium, tapi faktanya masih ada banjir akibat illegal logging," tandas Hadi.
Dia menambahkan, selain sudah melakukan pencadangan kawasan hutan untuk kegiatan ekonomi, pemerintah juga giat melakukan pemberantasan illegal logging untuk mensukseskan moratorium ini.
Menurutnya, upaya tersebut antara lain dilakukan melalui kerja sama perdagangan dengan Uni Eropa yang tidak mewajibkan hasil produk kayu asal Indonesia bersertifikat bebas illegal logging.
Sedangkan upaya lainnya adalah menyelesaikan konflik tenurial atau konflik lahan antara penduduk lokal dengan perusahaan atau pemerintah. "Empat kegiatan itu harus dilakukan, kalau cuma moratorium bisa gagal," jelas Hadi.

Evaluasi LoI RI-Norwegia
Sementara itu, dalam siaran pers yang diterima NERACA, Selasa, Greenomics Indonesia mengungkap, berdasarkan laporan evaluasi pertama tahunan terhadap LoI Indonesia-Norwegia tertanggal 3 Mei 2011, disebutkan bahwa pesan-pesan penting dari LoI tidak tersampaikan secara jelas ke publik.
"Penguluran waktu penandatanganan Inpres moratorium hutan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentu menjadi wajar, mengingat pihak-pihak yang terkait dengan sosialisasi LoI ternyata masih belum mampu menyampaikan pesan-pesan penting LoI kepada publik secara jelas," jelas Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi, menanggapi terbitnya laporan evaluasi pertama tahunan terhadap Lol Indonesia-Norwegia yang disusun oleh Gaia Consulting Ltd dan Creature Ltd, konsultan laporan evaluasi LoI.
Atas dasar itu, sambung Elfian, Greenomics berpendapat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak bisa dipersalahkan atau dinilai ragu-ragu atas molornya waktu penandatanganan Inpres moratorium hutan. Yang patut dipertanyakan adalah kegagalan pihak-pihak terkait yang diberi tugas untuk menyampaikan pesan-pesan penting LoI tersebut kepada publik.
"Tentu Presiden tidak mau gegabah menandatangani Inpres moratorium jika pesan-pesan penting LoI tidak tersampaikan dengan baik di publik," jelas Elfian.
Elfian menyebutkan, di antara pesan-pesan penting yang dinilai gagal disampaikan secara jelas oleh pihak-pihak yang bekerja untuk sosialisasi LoI ke publik tersebut adalah tentang manfaat-manfaat penting untuk Indonesia dengan adanya LoI tersebut, termasuk ketidakjelasan posisi Norwegia dalam LoI tersebut
"Tentu saja Presiden memantau perkembangan opini di publik serta mendapatkan masukan-masukan penting pasca penandatanganan LoI. Indonesia-Norwegia itu. Kalau pesan-pesan penting dari Lol tersebut tak tersampaikan secara jelas ke publik dan terus terjadi simpang-siur opini yang tak jelas, ya wajar saja Presiden mengulur waktu untuk menandatangani Inpres moratorium," ujar Elfian.
Satu pesan penting lagi yang tidak tersampaikan secara jelas ke publik berdasarkan laporan evaluasi tersebut, lanjut Elfian, adalah pemahaman publik atas pekerjaan yang dilakukan oleh Satuan Tugas REDD+.
"Bagaimana mungkin Satgas REDD+ dapat menyampaikan pesan-pesan penting Lol ke publik, jika pekerjaan Satgas tersebut temyata tidak jelas tersampaikan ke publik?" tanya Elfian.
Laporan evaluasi tersebut, jelas Elfian, juga menyoroti bahwa pesan-pesan penting dari LoI tak tersampaikan secara jelas kepada DPR RI.
"Ini menjadi catatan penting mengapa Inpres moratorium hutan tertunda demikian lama. DPR adalah mitra kerja pemerintah, jika pesan-pesan penting Lol tak tersampaikan secara jelas ke DPR, wajar saja jika Presiden melihat faktor tersebut sebagai faktor penting," kata Elfian.
"Tak heran, jika laporan evaluasi pertama tahunan terhadap Lol tersebut merekomendasikan untuk lebih bekerjasama dengan DPR untuk membangun dukungan melalui pemahaman di antara anggota DPR soal manfaat-manfaat strategis dari LoI," ujar Elfian. ·kam

Rabu, 18 Mei 2011

Pemerintah gandeng perbankan dukung pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat

Kontan JAKARTA. Pemerintah meminta perbankan nasional mengucurkan pinjaman bagi masyarakat yang mengelola Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Saat ini sudah ada satu perbankan yang tertarik.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto mengungkapkan bahwa satu bank yang sudah menyatakan minatnya adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI). "Karena punya kredit usaha rakyat (KUR)," ujarnya, Rabu (11/5).

Hadi mengatakan, luas maksimal HTR yang menerima pinjaman sebesar 300 hektare. Cuma, dia enggan menjelaskan berapa besarnya pinjaman yang bisa diajukan sebab masih dalam proses pembahasan.

Sebagai informasi, pemerintah menggandeng kerjasama dengan bank hingga tingkat kecamatan untuk menyalurkan pinjaman untuk mengelola HTR. Dengan begitu masyarakat tidak kesulitan mengajukan pinjaman.

Adapun tahun ini pemerintah menyiapkan 5,5 juta hektare HTR yang telah memiliki izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu. Lahan HTR itu tersebar di 26 provinsi yang mayoritas berada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Tujuan menyiapkan lahan HTR ini untuk meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat di daerah. Selain itu, mencegah masyarakat membabat hutan atau melakukan pembalakan liar.

Hadi menambahkan, penyaluran pinjaman untuk HTR itu akan sangat hati-hati sehingga mencegah terjadinya risiko. "Untuk menghindari kredit macet dan terjadinya moral hazard," katanya

Selasa, 17 Mei 2011

Kendalikan Suhu dengan HTR dan HTI

foto ilustrasi
BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Dinas Kehutanan Bangka Belitung mengklaim sudah berupaya mengembalikan fungsi hutan Bangka Beltung yang rusak dengan penggiatan Hutan Tanam Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Pasalnya kerusakan hutan di Bangka Belitung memicu meningkatnya suhu udara.

Kepala Dinas Kehutanan Bangka Belitung Andri Wahyono mengungkapkan pihaknya sudah berusaha mengembalikan fungsi hutan. Sejumlah kebijakan seperti pencadangan hutan tanaman rakyat (HTR) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) dilakukan untuk menyelamatkan fungsi hutan.

Andri Wahyono mengatakan pencadangan ini dimaksudkan dalam upaya penyelamatan kawasan hutan Bangka Belitung. Dimana kondisi hutan Bangka Belitung dalam keadaan rusak dan kritis.

Berdasarkan Citra Landsat ETM 7+ Tahun 2009 oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Baturusa Cerucuk dari total 648.858,9 Ha hutan Bangka Belitung, 49,87 persen hutan tersebut mengkhawatirkan.

Hutan konservasi Bangka Belitung yang seluas 33.637,3 Ha kondisinya 468,35 Ha sanggat kritis, 6.695,03 kritis Ha dan seluas 12.203,46 Ha agak kritis. Sementara hutan lindung di Bangka Belitung juga mirip, kondisinya juga mengkhawatirkan yakni kondisi sangat kritis mencapai 2.662,49 Ha, kritis 11.903,82 Ha sementara agak kritis seluas 49.513,58 Ha. Luas hutan lindung di Bangka Belitung 154.862,23 Ha.

Yang terparah kondisi hutan produksi yang hampir setengahnya dalam poissi yang sangat mengkawatirkan. Total luas hutan produksi di Bangka Belitung 460.359,40 Ha, dimana saat ini sebesar 21.316,10 Ha kondisinya sangat kritis, 56.101,18 Ha kondisinya kritis ditambah 167.063 Ha dalam kondisi agak kritis.

"Kita sudah upayakan untuk mengembalikan hutan yang rusak. Sejumlah cara salah satu programnya seperti HTI dan HTR," kata Andri.

Diungkapkannya yang berbahaya pada saat kemarau adalah ancaman kebakaran di hutan. Namun di Bangka Belitung sejauh ini belum ada gejala tersebut.

"Sudah tiga tahun ini, tidak pernah terjadi kebakaran karena kekeringan. Kita masih dalam kategori lembab," tandas Andri.( teddymalaka)

Kamis, 12 Mei 2011

Geleri Foto AHTRMI












AHTRMI GAGAS SISTEM TATA-KELOLA HUTAN EKONOMI BERKELANJUTAN


Peserta RAKORNAS I AHTRMI DPP, DPW AHTRMI Seluruh Indonesia

Hutan, bumi, udara, air, dan berbagai biota kehidupan merupakan satu kesatuan.  Seluruhnya berpadu dalam sumberdaya hutan. tanpa adanya hutan, bumi ini tentunya akan kehilangan daya kehidupannya. Itu artinya akan kehilangan media untuk berkembang.  Tanpa hutan, bumi ini akan binasa atau kehilangan dayanya dengan didahului bencana yang datang berkepanjangan.
 
Hutan sebagai inti dari lingkungan hidup, dimana didalamnya  terkandung berbagai manfaat untuk menjamin berkelangsungan kehidupan dari seluruh makhluk di muka bumi ini, terutama hutan yang menjadi media utama dalam Industri Pertanian.
 
Bangsa Indonesia mungkin boleh berbangga diri, karena memiliki Sumber Daya Hutan  yang sangat luas. Setidaknya luas hutan yang dimiliki Bangsa Indonesia mencapai 120,3 juta hektar . bahkan Indonesia tercatat sebagai hutan terluas ketiga, setelah Brasil dan Republik Kongo. Namun amat disayangkan, dengan predikat ketiga negara yang memiliki hutan luas ini, justru berujung pada keprihatinan yang sangat mendalam bagi semua pihak.
 Deforestasi dan degradasi hutan telah terjadi secara cepat tanpa kepedulian yang sungguh-sungguh dari masyarakat umum dan pemerintah yang bertanggungjawab terhadap kelestarian SDH,” ungkap Elan Masbulan, Ketua umum Asosiasi Hutan Tamanan Rakyat Mandiri Indonesia (AHTRMI), usai membuka Rapat Koordinasi Nasional I di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta.

Lebih jauh dikatakan Elan, Ironisnya, sudah banyak simpati dan kecemasan yang dilontarkan banyak pihak, bahkan oleh pemegang tanggungjawab pengurusan SDH itu sendiri, namun dalam kenyataannya “kecintaan” terhadap SDH tersebut lebih banyak diciderai oleh perilaku yang ‘ambivalen’ dari para stakeholder tersebut untuk ikut-ikutan merusak hutan, dan menikmati kemanfaatan secara ilegal kekayaan SDH Indonesia,” paparnya.

Kini dunia menangis, negeri inipun harus menanggung malu ditempatkan sebagai negara dengan tingkat kerusakan hutan terbesar di dunia (Guiness Book of World Record 2008).  Hutan Indonesia tercatat sebagai negara Hijau urutan ke-102 dari 149 negara di dunia yang dinilai kinerja lingkungannya.  Dan yang paling tragis, Environmental Performance Index (EPI) tahun 2008 memberikan nilai nol bagi pengelolaan hutan Indonesia.

Atas dasar hal di atas, Asosiasi Hutan Tanaman Rakyat Mandiri Indonesia (AHTRMI) membangun Platform dalam sistem tata-kelola hutan mandiri dan lestari melalui “Corporate Agro-Forestry Estate” yang melibatkan ‘Petani’ yang terhimpun dalam “Kelompok Tani” dan “Koperasi” sebagai stakeholder kunci dan pelaku utama dalam sistem industri hutan dan pertanian di Indonesia.

Dengan kata lain sebagai generator alam yang sekaligus prime mover ekonomi lokal, regional dan nasional sehingga spirit gerakan pembangunan dan pengembangan wilayah berkelanjutan yang diawali di kawasan HTR akan terealisasi dengan baik dan benar.
Dengan tekad “Growing up Economi Through Corporate Industry Agro Forestry Governance “GET COIN AGFORGO for GREEN ECONOMY”  itulah cita-cita kita bersama menciptakan pertumbuhan ekonomi hijau  yang dapat dirasakan oleh semua pelaku usaha Agro-Forestry melalui Tata-Kelola  dengan sistem Corporate yang akan dilaksanakan oleh  jutaan petani di seluruh nusantara.

Dalam rangka percepatan pembangunan tersebut di atas, Asosiasi Hutan Tanaman Rakyat Mandiri Indonesia (AHTRMI) selaku  lembaga NGO sangat peduli dan bertekad untuk senantiasa mendampingi menuju tercapainya cita-cita mulia.

Melalui Rapat Koordinasi Nasional 1 yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal  28-29 April 2011,  di Gedung Manggala Wanabakti,  Kementerian Kehutanan RI, Jalan Jend. Gatot Subroto, Jakarta. Dengan Thema    : “CORPORATE AGRO-FORESTRY ESTATE GOVERNANCE MENUJU TATA-KELOLA  HUTAN BERKELANJUTAN ,  HIJAU, MAKMUR, SEJAHTERA,”.

 “Kita mengharapkan dengan adanya rakornas ini, selain membangun konsolidasi kepengurusan AHTRMI juga akan menguatkan komitmen untuk mengembalikan fungsi hutan demi kemajuan dan kesejahteraan para petani, disamping mengembalikan dan menjaga hutan indonesia, sebagai paru-paru dunia,” ujar Elan.